SINAU BOSO JOWO Bahasa jawa mempunyai beberapa macam tingkatan untuk membedakan kepada siapakah lawan kita berbicara, apabila kita bicara dengan anak muda atau yang kita anggap kawan bisa menggunakan ngoko lalu ketika dengan orang yang lebih tua memakai bahasa jowo als ata orang jawa menyebutna boso kromo dan ketika lawan bicara kita orang yg sepuh kita memakai kromo inggil Pastilah kita orang jawa pernah di ajarkan oleh orang tua kita tentang tata cara berbicara kepada orang kita hormati karena kita punya budi pekerti, memang sih agak sedikit ribet tapi inilah budaya kita yang kita harus lestarikan kalau bukan kita siapa lagi yang peduli. Di bawah ini adalah sedikit conttoh boso kromo silakan di lihat dan semoga bermanfaat. Ngoko
Tembung Ngoko-Kromo-Kromo Inggil Tembung Kromo Inggil Ngoko
Kromo
Kromo Inggil Abang Abrit Abrit Anak yoga Putra adus adus siram aran nama asma banyu toya toya bojo semah garwa buwang bucal kéndhang buyar rampung rampung carita cariyos cariyos cukur cukur paras, pangkas dadi dados dados dalan radinan margi dandan dandos busana deleng ningali mriksani dhewé piyambak piyambak doyan purun kersa duwé gadhah kagungan embuh kirangan ngapunten endi pundi pundi epék pendhet pundhut gawa bekta asta gedhé ageng ageng gelem purun kersa gelis énggal énggal iki niki punika ilang ical ical imbuh imbet tanduk inep nyipeng nyaré isin isin lingsem iya inggih sendika jaga jagi reksa jaluk nedi suwun jamu jampi loloh jarit sinjang nyamping jeruk jeruk jeruk jungkat serat pethat jupuk pendhet pundhut kabéh sedaya sedanten kacamata kacamripat kacatingal kakang kakang raka kanggo kanggé kagem kandha sanjang ngendika kklambi rasukan ageman keris dhuwung wangkingan kongkon kéngkén utus kowé sampéyan panjenengan
mohon maaf sebelumnya bagi yang tidak mengetahui huruf Jawa tidak usah paranoid dulu ya karena inti tulisan ini bukan huruf Jawa itu sendiri, tetapi lebih ke masalah makna kehidupan. Anda tidak begitu membutuhkan kemampuan dan/atau pengetahuan tentang huruf Jawa kok, yang penting membacanya pelan dan jangan terpaku pada huruf Jawa-nya. Fokuslah pada penjelasannya.
(Informasi ini saya tambahkan untuk mengajak teman-teman yang tidak tahu huruf Jawa untuk tidak takut membaca )
Setelah mengetahui sedikit tentang sejarah huruf Jawa maka mari kita sedikit mengupas beberapa makna filosofis dari huruf Jawa tersebut. Ada begitu banyak makna secara filosofis dari huruf Jawa tersebut dan makna filososfis tsb bersifat cukup general alias tidak hanya untuk orang Jawa saja lho. Ada beberapa versi makna huruf Jawa tersebut, beberapa di antaranya adalah yang dikatakan Pakdhé Wikipedia di sini dan di sana, berhubung Pakdhé Wikipedia sudah bercerita dengan cukup jelas maka saya tidak akan menulis ulang pitutur Pakdhé tersebut. Sekarang saya akan sedikit mengupas “tafsir” versi lain dari huruf Jawa tersebut. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mencetuskan konsep petuah tentang kepemimpinan yang sangat terkenal, beliau juga berhasil memberi penafsiran mengenai ajaran budi pekerti serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur yang terkandung dalam huruf Jawa . Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) HA NA CA RA KA:
hana1.jpg Ha: Hurip = hidup Na: Legeno = telanjang Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
(2) DA TA SA WA LA
hana2.jpg
DA TA SA WA LA (versi pertama): Da: Dodo = dada Ta: Toto = atur Sa: Saka = tiang penyangga Wa: Weruh = melihat La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA (versi kedua): Da-Ta (digabung): dzat = dzat Sa: Satunggal = satu, Esa Wa: Wigati = baik La: Ala = buruk
(3) PA DHA JA YA NYA:
hana3.jpg PA DHA JA YA NYA =Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).
(4) MA GA BA THA NGA :
hana4.jpg Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa Ga: Raga = badan, jasmani Ba-Tha: bathang = mayat Nga: Lungo = pergi
Tetapi selanjutnya dengan sedikit ngawur saya pribadi akan berusaha menyelami dan menjabarkan tafsir huruf Jawa versi Ki Hadjar tersebut sesuai dengan kemampuan saya. Kalau banyak kesalahan ya mohon dimaklumi karena saya bukanlah seorang filusuf, saya hanya ingin mengenal lebih jauh huruf Jawa (walaupun secara ngawur dengan cara sendiri).
(1) HA NA CA RA KA: Ha: Hurip = hidup Na: Legeno = telanjang Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Dari arti secara harfiah tsb, saya berusaha menjabarkannya menjadi dua versi:
**) Ketelanjangan=kejujuran
Bukankah secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi sebenarnya ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru lahir juga memiliki jiwa yang “telanjang”, masih suci…polos lepas dari segala dosa. Seorang bayi juga “telanjang” karena dia masih jujur…lepas dari perbuatan bohong (kecuali bayi aneh :D ). Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-karya . Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi kejujuran. Marilah kita “telanjang” dalam bercipta, berrasa dan berkarya.
**)) Pengembangan potensi
Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia “dihidupkan” atau dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan “telanjang”. Telanjang di sini dalam artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta, hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak, serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai badan sensor manusia). Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga “kelayakannya” sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll). (2) DA TA SA WA LA: (versi pertama)
Da: Dodo = dada Ta: Toto = atur Sa: Saka = tiang penyangga Wa: Weruh = melihat La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA berarti dadane ditoto men iso ngadeg jejeg (koyo soko) lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara hati (nurani) yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya. Kata “atur” bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage (menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal, ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.
DA TA SA WA LA: (versi kedua)
Da-Ta (digabung): dzat = dzat Sa: Satunggal = satu, Esa Wa: Wigati = baik La: Ala = buruk
DA TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu Tuhan) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata “baik” di sini ekuivalen dengan kata “benar” sedangkan kata “buruk” ekuivalen dengan “salah”. Jadi alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan orang (kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai pihak yang paling benar.
(3) PA DHA JA YA NYA: PA DHA JA YA NYA = sama kuat Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita masing-masing.
(4) MA GA BA THA NGA: Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa Ga: Raga = badan, jasmani Ba-Tha: bathang = mayat Nga: Lungo = pergi
Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Alloh.
Yen janji mesthi netepi Yen utang kudu nyahuri Layat mring kang kasripahan Nglipur mring kang kasisahan
Awak-awak wangsulana Pitakonku marang sira Saka ngendi sira iku Menyang endi tujuanmu
Mula coba wangsulana Jawaben kalawan cetha Aneng endi urip ira Saiki sadina-dina Kula gesang tanpa nyana Kula mboten gadhah seja Mung karsane kang Kuwasa Gesang kula mung sa’derma
Gesang kula sapunika Inggih wonten ngalam donya Donya ngalam karameyan Isine apus-apusan
Yen sampun dumugi mangsa Nuli sowan kang Kuwasa Siyang dalu sinten nyana Jer manungsa mung sa’derma
Sowanmu mring Pangeranmu Sapa kang dadi kancamu Sarta apa gegawanmu Kang nylametke mring awakmu
Kula sowan mring Pangeran Kula ijen tanpa rewang Tanpa sanak tanpa kadang Banda kula katilaran
Yen manungsa sampun pejah Uwal saking griya sawah Najan nangis anak semah Nanging kempal mboten wetah
Sanajan babanda-banda Morine mung telung amba Anak bojo mara tuwa Yen wis ngurug banjur lunga
Yen urip tan kabeneran Banda kang sapirang-pirang Ditinggal dinggo rebutan Anake padha kleleran
Yen sowan kang Maha Agung Aja susah aja bingung Janjine ridhone Allah Udinen nganggo amalan
Ngamal soleh ra mung siji Dasare waton ngabekti Ndherek marang kanjeng nabi Muhammad Rasul Illahi Mbangun turut mring wong tuwa Sarta becik karo tangga Welasa sapadha-padha Nulunga marang sing papa
Yen ngandika ngati-ati Aja waton angger muni Rakib ngatit sing nulisi Gusti Allah sing ngadili
Karo putra sing permati Kuwi gadhuhan sing edi Aja wegah nggula wentah Suk dadi ngamal jariyah
Banda donya golekana Metu dalan sing prayoga Yen antuk enggal tanjakna Mring kang bener aja lena
Aja medhit aja blaba Tengah-tengah kang mejana Kanggo urip cukupana Sing akherat ya perlokna
Aja dumeh sugih banda Yen Pangeran paring lara Banda akeh tanpa guna Doktere mung ngreka daya
Mula mumpung sira sugih Tanjakna ja wigah wigih Darma ja ndadak ditagih Tetulung ja pilah-pilih
Mumpung sira isih waras Ngibadaha kanthi ikhlas Yen lerara lagi teka Sanakmu mung bisa ndonga
Mumpung sira isih gagah Mempeng sengkut aja wegah Muga sira yen wus pikun Ora nlangsa ora getun
Mula kanca da elinga Mung sapisan aneng donya Uripmu sing ngati-ati Yen wis mati ora bali Gusti Allah wus nyawisi Islam agama sejati Tatanen kang anyukupi Lahir batin amumpuni
Kitab Qur’an kang sampurna Tindak nabi kang pratela Sinaunen kang permana Sing sregep lan aja ndleya
Dhuh Allah kang Maha Agung Mugi paduka maringi Pitedah lawan pitulung Margi leres kang mungkasi
Nggih punika marginipun Tetiyang jaman rumuhun Ingkang sampun pinaringan Pinten-pinten kanikmatan
Sanes marginipun tiyang Ingkang sami dinukanan Lan sanes margining tiyang Kang kasasar kabingungan
Gesang kita datan lama Amung sakedheping netra Maena sami andika Rukun Islam kang lelima
AMIN AMIN AMIN AMIN YA ALLAH ROBBAL ‘ALAMIN MUGI PADUKA NGABULNA SADAYA PANYUWUN KULA
TOMBO ATI Tombo ati iku lima ing wernane Ingkang dhihin maca Qur’an sak maknane Ping pindhone sholat wengi lakonana Ping telune dzikir wengi ingkang suwe Kaping pate wetengira ingkang luwe Ping limane wong kang sholeh kumpulana Sapa wonge padha bisa anglakoni Insya Allah Gusti Allah nyembadani
Bagi orang yang ingin menggeluti kesenian tradisional terlebih dahulu harus dapat menguasai tembang Macapat. Hal ini penting, karena tanpa menguasai tembang Macapat sulitlah orang menggeluti kesenian tradisional Jawa, seperti : Karawitan, Wayang Kulit, Ande-ande Lumut, Brambangan, apa lagi Langen Mandra Wanara. Sebab tembang Macapat merupakan unsur baku dan induk (babon) kesenian tradisional Jawa. Oleh karena itu, apabila ingin menggeluti salah satu kesenian tradisional Jawa, sebaiknya rajin mengikuti Macapatan.
MACAPAT MERUPAKAN UNSUR BAKU BERBAGAI JENIS KESENIAN Dengan menggeluti seni Karawitan orang mudah menguasai Unsur baku “ngeng”-nya suatu gending, menguasai tembang gerongan maupun sindenannya, bawa-swaranya dan lain sebagainya. Tembang-tembang yang baku itu adalah Macapat, baik Kinanthi, Asmaradana ataupun Dhandhanggula dan sebagainya. Demikian pula apabila kita mencermati seni pedalangan (wayang kulit), disamping ada suluk dan odo-odo ada pula unsur baku lainnya, yaitu : tembang macapat untuk gerongan dan isian gara-gara serta adanya wejangan orang tua kepada satria. Terlebih dahulu lagi dalam kesenian ketoprak. Para pemain baku harus dapat menguasai tembang macapat yang biasanya diiringi dengan gamelan. Disamping itu harus terampil melagukan dan cekatan mengarang tembang Asmaradana, Kinanthi, Pucung dan lain-lain untuk “bage-binage” atau “gandrung”. Demikian pula dalam pentas kesenian tradisional lainnya : Jatilan, Wayang Orang, Slawatan Jawi (Montro, Genjring, Mondreng dan lain-lain), Srandul, Brambangan dan sebagainya. Tembang Macapat merupakan unsur baku, lebih-lebih dalam Langen Mandra Wanara dan sejenisnya (Langentaya, Purbawanara, Langendriya dan lain-lain). Tanpa menguasai tembang Macapat, diharapakan untuk tidak ikut berperan, karena ketrampilan nembang macapat merupakan darah daging pemain Langen Mandra Wanara.
DARI MACAPATAN Kesenian tradisional Langen Mandra Wanara dan, sejenisnya berinduk dari Macapatan. Semula adalah pagelaran Macapatan di Ndalem Mangkubumen, di kawasan Kraton Yogyakarta, dengan membaca Serat Rama. Sungguh sangat mengasyikkan, dengan diadakan pembagian kerja. Yang membaca tembang berisi jalan cerita ada sendiri. Yang membaca uacapan-ucapan Prabu Rama, Dewi Sinta, Lesmana, Anoman, Prabu Rahwana, Kumbakarna, Trijata dan sebagainya, masing-masing ada “dhapukan-nya” sendiri, penari sekaligus melantunkan tembang, tetapi karena dari duduk lesehan (bersila di tikar), maka menarinya dengan jongkok (Jengkeng), dilengkapi adegan perang dan sebagainya dan diiringi gamelan, maka jadilah kesenian Langen Mandrawanara. Apabila dilakukan dengan berdiri dinamakan Langendriya atau Langendriyan. Ada lagi : Langentaya, Purbawanara dan sebagainya, Jelaslah, disampaing menjadi unsur baku, tembang Macapat ternyata juga menjadi induk (babon) kesenian tradisional Jawa. MENGARANG MACAPAT Yang baku dalam Macapatan adalah orang karangan yang sudah ada dengan lagu atau cengkok tembang yang sesuai dengsn watak isi ceritanya. Tembang Dhadhanggula misalnya, mempunyai cengkok lagu bermacam-macam (ada sekitar 20 lagu) seperti : Pasowanan, Kanyut, Baranglaya, Liksuling, Palaran, Kentar, Banjet, Manten Anyar, Semarangan, Turulare, Majasih, Sedyaasih, Rencasih, Pangajabsih, Tlutur, Banyumasan dan lain-lain. Setelah ditembangkan, isi bacaan tersebut diperbincangkan dalam sarasehan untuk mendalami maknanya. Demikian yang terjadi dalam Macapatan. Namun disamping itu, ada juga Macapatan yang memberi kesempatan kepada para warganya untuk mengarang cakepan (syair) dari Macapat. Untuk mengarang Macapat ini, agar sastra Macapat itu baik bahkan mendekati sempurna, maka karangan harus memenuhi 9 syarat yaitu : 1. guru gatra, 2. guru lagu, 3. guru wilangan , 4. pedhotan, 5. sasmita, 6. purwakanthi, 7. sengkalan, 8. sandiasma, dan 9. Sesuai dengan watak tembang. Memang, cakepan tembang Macapat yang baik itu memenuhi 9 syarat, namun minimal 3 syarat suatu karangan yaitu : (guru gatra : jumlah baris, guru lagu : jatuhnya vokal a, i, o, e, u tiap akhir baris ; dan guru wilangan : jumlah suku kata tiap barisnya) sudah dapat ditembangkan, walau kurang luwes dan kurang indah. Contoh : Cakepan tembang PANGKUR karangan baru : Nusantara kajuwara, (8-a) Jembar subur tanahnya loh jinawi, (11-I) Pulonya maewu-ewu, (8-u) Winengku ing samodra, (8-a) Rakyat sagung sugih seni adiluhung, (12-u) Eman yen kesed makarya, (8-a) Payo sengkud mbangun nagri (8-i). Terjemahan dalam bahasa Indonesianya (juga dapat ditembangkan) : Nusantara sungguh tenar, Luas subur dan kaya hasil bumi, Beribu-ribu pulaumu, Dipadukan lautan, Rakyat kaya kesenian yang bermutu, Sayang bila malas kerja, Marilah membangun negeri.
Urut-urutane tembang Jawa iku padha karo lelakoning manungsa saka mulai bayi abang nganti tumekaning pati. Mungguh kaya mangkene urut-urutane tembang kaya kang tak aturake ing ngisor iki: Maskumambang Gambarake jabang bayi sing isih ono kandhutane ibune, sing durung kawruhan lanang utawa wadhon, Mas ateges durung weruh lanang utawa wadhon, kumambang ateges uripe ngambang nyang kandhutane ibune. Mijil ateges wis lair lan jelas priya utawa wanita. Kinanthi saka tembung kanthi utawa tuntun kang ateges dituntun supaya bisa mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya. Sinom tegese kanoman, minangka kalodhangan sing paling penting kanggone remaja supaya bisa ngangsu kawruh sak akeh-akehe. Asmaradana tegese rasa tresna, tresna marang liyan ( priya lan wanita lan kosok baline ) kang kabeh mau wis dadi kodrat Ilahi. Gambuh saka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yen wis jumbuh / sarujuk njur digathukake antarane priya lan wanita sing padha nduweni rasa tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan. Dandanggula Nggambarake uripe wong kang lagi seneng-senenge, apa kang igayuh biso kasembadan. Kelakon duwe sisihan / keluarga, duwe anak, urip cukup kanggo sak kaluarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong atine, bisa diarani lagu ndandanggula. Durma Saka tembung darma / weweh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripe, banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyane kang lagi nandhang kacintrakan, mula banjur tuwuhrasa kepengin darma / weweh marang sapadha - padha. Kabeh mau disengkuyung uga saka piwulange agama lan watak sosiale manungsa. Pangkur Saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepingin weweh marang sapadha - padha. Megatruh Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi wancine katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa. Pocung / Pucung Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa